Malam ini sepi lagi.
Tidak ada bahu, pelukan, ataupun candaan yang berhasil memulihkan matanya yang
sembab. Sita menangis sejadi-jadinya, sendirian, dan bahunya bergetar hebat.
Hanya satu pertanyaan yang terus berputar di atas kepalanya, “Aku salah apa?”. Dan
pikiran-pikiranitu, pikiran-pikiran negatif yang selalu mengikutinya seharian ini.
Sita berharap air
matanya cepat habis. Dari malam sebelumnya, pagi, kemudian siang tadi, air
matanya mengalir tanpa henti. Setiap sepotong beban yang diakeluhkan di
depan sahabat-sahabatnya, sebanyak itu juga dia menangis. Dan malam ini,
saat dia benar-benar ingin melupakan semuanya, air matanya masih saja mengalir,
menunjukkan kelemahan yang selama ini ingin sekali dia musnahkan.
Dia pikir cukup
Putra yang dikirimTuhan untuk mengajarinya tegar. Tapi ternyata Tuhan terlalu menyayanginya.
Sekarang Tuhan sedang mengirim makhluk lain untuk menjadikannya lebih kuat lagi.
Laki-laki yang begitu dia sayangi. Laki-laki yang selalu berada di dekatnya.
Laki-laki yang mengatakan bahwa dia sangat menyayangi Sita. Dan laki-laki yang
sedang merindukan wanita lain. Laki-laki yang sedang jatuh hati dengan wanita lain.
Seharusnya Sita sudah kebal.
Tapi kali ini dia merasa seperti dibunuh untuk kedua kalinya. Tidak membuat tubuhnya mati memang,
tapi hatinya semakin mati rasa mengetahui Dare sangat ingin bertemu wanita lain.Semakin
Dare mengaku salah dan meminta maaf kepadanya, semakin bosan dan menyakitkan yang
dirasa Sita.
Sita benci dirinya
yang terlalu rapuh, terlalu lemah, terlalu sensitif. Sita benci dirinya yang
tidak tegas, yang hanya bisa sabar tanpa membedakan mana yang disebut sabar mana yang
disebut bodoh. Sita benci dirinya yang terlalu menyayangi kekasihnya. Sinta membenci
Dare, tapi begitu merindukannya. Sita benci wanita yang dirindukan Dare, tapi Dare
tidak ingin Sita menyalahkan wanita yang dirindunya. Dan tidak ada pilihan lain
bagi Sita selain menyalahkan dirinya sendiri.
Proposal skripsi
yang seharusnya dikerjakan pun akhirnya hanya bisa diapandangi begitu saja.
Pikirannya kacau.
“Pokoknya proposal
selanjutnya gak boleh ada revisi lagi, harus bener, Ta’!!” marah Lisa sore tadi.
Lisa, Uma, Utari,
dan Uli, bahu-bahu merekalah tempat bersandar kepala Sita seharian ini.
Tapi Sita masih butuh bahu yang lain. Bahu Ibuk yang selalu nyaman, bahu Bapak yang
hangat, dan bahu adiknya yang menenangkan. Sita merindukan rumah, sangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar