About Senja Dewanti

Foto saya
Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia
I'm just Senja Permata Dewanti .

Jumat, 27 September 2013

Sita #Part 3 - Bahumu, Saya Rindu


Malam ini sepi lagi. Tidak ada bahu, pelukan, ataupun candaan yang berhasil memulihkan matanya yang sembab. Sita menangis sejadi-jadinya, sendirian, dan bahunya bergetar hebat. Hanya satu pertanyaan yang terus berputar di atas kepalanya, “Aku salah apa?”. Dan pikiran-pikiranitu, pikiran-pikiran negatif yang selalu mengikutinya seharian ini.

Sita berharap air matanya cepat habis. Dari malam sebelumnya, pagi, kemudian siang tadi, air matanya mengalir tanpa henti. Setiap sepotong beban yang diakeluhkan di depan sahabat-sahabatnya, sebanyak itu juga dia menangis. Dan malam ini, saat dia benar-benar ingin melupakan semuanya, air matanya masih saja mengalir, menunjukkan kelemahan yang selama ini ingin sekali dia musnahkan.

Dia pikir cukup Putra yang dikirimTuhan untuk mengajarinya tegar. Tapi ternyata Tuhan terlalu menyayanginya. Sekarang Tuhan sedang mengirim makhluk lain untuk menjadikannya lebih kuat lagi. Laki-laki yang begitu dia sayangi. Laki-laki yang selalu berada di dekatnya. Laki-laki yang mengatakan bahwa dia sangat menyayangi Sita. Dan laki-laki yang sedang merindukan wanita lain. Laki-laki yang sedang jatuh hati dengan wanita lain.

Seharusnya Sita sudah kebal. Tapi kali ini dia merasa seperti dibunuh untuk kedua kalinya. Tidak membuat tubuhnya mati memang, tapi hatinya semakin mati rasa mengetahui Dare sangat ingin bertemu wanita lain.Semakin Dare mengaku salah dan meminta maaf kepadanya, semakin bosan dan menyakitkan yang dirasa Sita.

Sita benci dirinya yang terlalu rapuh, terlalu lemah, terlalu sensitif. Sita benci dirinya yang tidak tegas, yang hanya bisa sabar tanpa membedakan mana yang disebut sabar mana yang disebut bodoh. Sita benci dirinya yang terlalu menyayangi kekasihnya. Sinta membenci Dare, tapi begitu merindukannya. Sita benci wanita yang dirindukan Dare, tapi Dare tidak ingin Sita menyalahkan wanita yang dirindunya. Dan tidak ada pilihan lain bagi Sita selain menyalahkan dirinya sendiri.

Proposal skripsi yang seharusnya dikerjakan pun akhirnya hanya bisa diapandangi begitu saja. Pikirannya kacau.

“Pokoknya proposal selanjutnya gak boleh ada revisi lagi, harus bener, Ta’!!” marah Lisa sore tadi.

Lisa, Uma, Utari, dan Uli, bahu-bahu merekalah tempat bersandar kepala Sita seharian ini. Tapi Sita masih butuh bahu yang lain. Bahu Ibuk yang selalu nyaman, bahu Bapak yang hangat, dan bahu adiknya yang menenangkan. Sita merindukan rumah, sangat.

Senin, 03 Juni 2013

Kalimat Tanya

Pernah bertekad untuk melakukan hal yang paling baik supaya tidak lagi disakiti? Pernah bersusah payah melawan pikiran-pikiran negative agar tidak menyakiti diri sendiri? Lalu ketika sudah melakukan hal yang paling baik dan sudah berusaha berpikir positif tapi masih saja sakit, apalagi yang harus dilakukan? Pura-pura tidak terjadi apa-apa? Pura-pura bodoh? Ketika itu terjadi pada saya, hanya satu kalimat yang terus berputar di dalam kepala, “Saya harus bagaimana?”

Dan sama sekali tak ada jawaban. Atau mungkin belum.

Ketika dihadapkan dengan masalah yang sama, apa yang sebenarnya sedang Tuhan rencanakan? Apa harus menangis berkali-kali hingga kehabisan air mata baru kemudian diberikan kebahagiaan? Tapi haruskah ujiannya sama seperti yang pernah diujikan sebelumnya? Apa mungkin Tuhan masih belum yakin bahwa ujian yang sebelumnya telah dilewati dengan benar? Lalu bagaimana cara melewatinya dengan benar?


Salahkah memperbanyak kesabaran? Salahkah jika terlalu peka? Salahkah jika ingin semuanya berjalan baik? Atau cara saya yang salah menghadapi fakta?

Sabtu, 01 Juni 2013

Final Project Bahasa Indonesia

Mading "Seni Rupa"

Kelompok :
Rut Merilene Hady (10.11.4474)
Dyta Romania (10.11.4500)
Senja P Dewanti (10.11.4511)
Sinta Sulistyaningsih (10.11.4518)

https://docs.google.com/file/d/0B7VxNorFAYB8T05McE5XZk1BN28/edit?usp=sharing

Selasa, 09 April 2013

Kejutanmu yang Mengejutkan

Nah kan, aku bilang apa? Kamu juga rindu.

Angka-angka sama yang aku temui hari ini memang berniat menceritakan rahasia. Kamu datang tiba-tiba.

Seharusnya dari awal aku sudah harus menyiapkan kepercayaan dan kesabaran dengan stok penuh, agar kamu tak merasakan bahwa aku sedikit ‘tersiksa’ karena merindumu.

Aku memang sudah menyiapkan diri untuk menunggu lama. Tapi kamu datang sebelum aku lelah.

Kalimat itu. Untaian kata yang aku harap bukan sekedar untuk membuatku tersenyum, tapi kumpulan huruf yang memang kau selipkan dalam tujuanmu ‘menghilang’ beberapa saat lalu. Dalam hati aku mengamini.

Kamu tahu? Aku tersenyum, kemudian tertawa, lalu menangis karena tak tahu harus bagaimana menerima kalimat rindumu.

Aku tak tahu harus apa. Hanya tersenyum saja? Membingkai wajahmu hari ini untuk stok kerinduan beberapa hari kedepan? Atau tetap merindumu seperti hari-hari sebelumnya?

Bukan, yang harus aku lakukan adalah menjaga kepala dan isinya tetap positif untuk berpikir jernih. Untuk tetap menunggumu, dan mendoakanmu tentunya :)

Senin, 08 April 2013

Seharusnya Rasional

Memberimu sedikit ruang agar bisa mendengar kalimat rindu seperti dulu.

Tak tahu kapan, karena pasti kamu masih bergelut dengan apa yang kamu sebut keinginan.

Tanganku gatal untuk tidak mengetik pesan singkat, mataku tak tahan untuk tak selalu melihat layar ponsel, menunggu, tapi tak ada dering yang berbeda.

Aku hampir tak bisa berpikir rasional ketika rinduku menyerang.

Sialnya, kepala ini selalu kehabisan kendali untuk tidak berpikir macam-macam.

Memikirkan segalanya yang konyol, hingga semua-semua yang mungkin membuatku tak tahu harus menunggu berapa lama lagi.

Tapi ketika akal sehat datang, aku percaya, bahwa kamu juga merindu, hanya belum menemukan waktu yang tepat untuk menyampaikannya.

Dan kemudian aku mendapatkan kendaliku kembali.

Membiarkanmu entah melakukan apa. Memendam keinginan-keinginan bertemu. Menyadarkan diri untuk tidak mengganggu.

Iya, prioritas utama kamu seharusnya bukan aku, melainkan keinginan-keinginan besarmu. Tapi izinkan aku untuk berharap menjadi salah satu dari keinginan besarmu, nanti.

Seharusnya rasional. Tapi harapanku terkadang melebihi batas kerasionalan.

Aku masih berdiri di tempat yang sama. Menunggumu mencariku. Dan membawaku kembali ke dalam rengkuhanmu. Semoga Tuhan mau membantu.

Kamis, 04 April 2013

Iya, Ini Rindu.

Jujur, aku bahagia mendengar kamu mengatakan, “Yang ada dipikiranku saat ini cuma keluarga,” aku senang, aku bahagia, tapi ketika kamu bilang “Kalo kita kayak gini terus? Gak pernah ada waktu untuk ketemu?”, itu kalimat yang paling aku takutkan dari pertama.

Aku menahan rindu. Aku menahan untuk tak mengganggumu. Aku mencuri-curi waktu dan alasan untuk sekedar melihatmu, untuk memastikan bahwa kamu baik-baik saja, untuk memastikan bahwa kamu sudah bahagia, sudah mendapatkan apa yang kamu mau. Tapi aku tak bisa mendengar kalimat yang lebih menyakitkan dari itu. Iya, itu memang sekedar ‘kalau’, aku hanya takut jika ‘kalau’ berubah menjadi ‘harus’, aku tak tahu akan bagaimana.

Aku hanya ingin disini. Melihat wajah berserimu setiap hari. Melihat sisa-sisa lelah yang kamu katakan bahwa itu kebahagiaan, mendengar cerita tentang keinginan-keinginan besarmu. Aku sudah tidak butuh setiap hari, aku hanya butuh beberapa menit saja, melihatmu, menceritakan apa yang ingin kuceritakan, membuat kita tertawa, dan ber-high five kemudian.

Aku sudah tak berharap waktu lebih.

Aku hanya ingin cukup.

Sedikit mungkin bisa.

Setidaknya ada.

Karena cukup bagiku sudah mewakili kita.

Pesan singkat, obrolan ringan, kebingungan memilih menu makanan, kediaman tanpa topik pembicaraan, dan kamu.

Aku merindu.

Berharap suatu saat bisa melakukannya kembali.

Denganmu.

Entah kapan.

Rabu, 27 Maret 2013

Mimpi dan Motivasi Versi Egois (Versi Saya)


Mimpi boleh beda kan? Mimpi tak harus diceritakan kan? Mimpi tak harus dibeberkan kan? Mimpi boleh dipendam dan dilaksanakan diam-diam kan? Iya, itu saya. Saya punya mimpi, tentu saja. Memang saya masih belum tahu pasti bagaimana meraih mimpi saya sendiri. Saya butuh bantuan, itu benar. Tapi tidak salah kan kalau saya memilah-milah bantuan apa saja yang ditawarkan untuk saya? Saya berhak.dan tentu saja orang-orang juga berhak menilai keegoisan dan kepecundangan saya. Silakan.

Sekali lagi, saya butuh diyakinkan benar-benar. Saya egois. Saya sulit percaya. Tapi Anda salah kalau mengatakan keinginan saya masih setengah. Saya hanya ingin cara berbeda, setidaknya untuk saat ini :)

Ketika orang lain menganggap keinginan saya untuk membahagiakan orang lain masih belum maksimal, saya selalu ingin berteriak di hadapan mereka, “Kamu masih kurang mengenal saya.” Egois? Memang. Karena yang mengenal diri saya dengan benar adalah saya sendiri :’)

Saya tidak suka dijauhi orang, saya takut. Tapi ketika ada seseorang berkata, “Dia lebih baik dari pada kamu.” Saya akan memilih dijauhi daripada harus dibanding-bandingkan dengan orang lain. Saya lebih suka mendengar “Kamu bisa jadi yang terbaik seperti yang kamu harapkan” daripada “Kamu bisa lebih baik dari dia”. Mungkin itu kalimat motivasi, tapi bagi saya motivasi itu dukungan, bukan dibandingkan.