Sita
duduk di depan teras rumahnya, dengan laptop
kesayangan warna silver di atas pangkuannya. Bukan materi bahan UAS, bukan
film-film Korea yang baru dicopynya
dari Fidha, juga bukan tutorial-tutorial yang dia download dari Mbah google
yang ia sedang pandangi saat ini, tapi foto-foto itu, foto-foto yang diambil
terakhir kali bersama Putra. Ya, tentu saja sebelum mereka memutuskan untuk
‘berhenti’.
Sebenarnya
folder-folder foto itu sudah ia
amankan sejak 5 bulan yang lalu, lengkap dengan semua-semua yang menurutnya
bisa memancing kegalauan. Semua sudah dia jauhkan dari jangkauannya, termasuk
menghilangkannya dari dalam harddisk laptopnya sendiri. Tidak, Sita tidak
menghapusnya, dia hanya mengamankannya dan menjauhkannya dari matanya yang
selalu tidak tahan memandangi wajah Putra yang manis itu.
Tapi
tentu saja aksinya itu tidak berhasil. Semakin dia menjauhkan semuanya, semakin
dia sulit untuk tidak memikirkan Putra. Lelaki itu sudah benar-benar membuatnya
kehilangan bahan pikiran !
Beberapa
hari yang lalu Sita memutuskan untuk mengembalikan folder-folder foto itu ke dalam harddisk
laptopnya, sebelum dia meninggalkan kota yang penuh atmosfer tentang lelaki
itu. Dia tidak ingin galau di rumahnya sendiri hanya karena merindukan lelaki
yang telah membuatnya setengah konyol. Dan di sinilah, di rumahnya sendiri,
setelah tugas-tugas yang menjengahkan itu berhasil dia taklukkan, dia
memutuskan untuk pulang. Mencari udara segar untuk mengendorkan otot-otot
kepalanya yang sempat menegang karena kebanyakan deadline beberapa minggu belakangan.
Terakhir
kali dia meninggalkan kota manis itu, Sita masih ingat, Putra lah yang terakhir
dilihatnya. Tapi beberapa hari yang lalu, jangankan melihat wajah Putra,
mengatakan kalimat pamitpun Sita berpikir seribu kali, entah apa saja yang
berulang-ulang ia pikirkan, yang jelas keputusan finalnya adalah tidak
mengatakan pada Putra kalau dia akan pulang.
“Berita
kepulangan gue juga gak bakal jadi info penting buat dia, secara, gue tuh siapa
sih ! lagian gue juga balik ke sini lagi entar.” begitulah
tanggapan Sita saat Lisa melontarkan pertanyaan godaan untuknya, “Loe nggak pamit sama Putra ?”
Dan
akhirnya, pagi itu, di bus ekonomi yang dia tumpangi, dia mengirimkan pesan
singkat berisi kalimat pamit kepada teman-temannya, tapi tidak kepada Putra.
Seharusnya
tadi Sita menolak godaan malaikat yang berputar-putar di atas kepalanya untuk
mencari folder-folder itu, tapi sudah
terlambat. Dari 30 menit yang lalu, jari-jarinya hanya berkutat di tombol ‘next’ dan ‘back’, dengan layar yang menampilkan berlembar-lembar foto-fotonya
degan Putra. Sementara itu, pikirannya berjalan-jalan ke dalam foto-foto yang
dia pandangi, ke waktu yang telah lama dia tinggalkan.
Hingga
akhirnya suara adik satu-satunya membuyarkan lamunan Sita.
“Mbak,
HPnya bunyi-bunyi teruuuuuuuussss !” teriak Al dari dalam rumah.
Dan
beberapa saat kemudian, adiknya yang berkulit gelap karena sengatan matahari
itu barlari-lari menghampirinya, duduk manis di sampingnya sambil membawa HPnya
yang selalu digeletakkan begitu saja di dalam kamar.
“Pinjem
laptopnya buat ngegame bentar donk mbak !” pinta Al dengan
wajah yang dibuat sok manis.
Kemudian
Sita meletakkan laptop di sampingnya
yang langsung disambar Al, tanpa menutup gambar-gambarnya dengan Putra di layar
laptopnya, toh Al juga tidak akan
banyak bertanya tentang siapa yanga ada di dalam laptop Sita. Al hanya butuh
tampilan game yang begitu ingin dia
mainkan dari satu jam yang lalu.
Sita
menyambar HPnya, berniat mengambil laptopnya
kembali setelah membalas SMS-SMS yang masuk sejak dari pagi. Ternyata Utari.
Sitaaaa, tugas
yang kamu kasih ke Dira kemaren salah lhoo, jadi makalahnya kamu lagi yg harus
nyelesein ! ok :D
”Astagaa
! Bego banget gue !”
Dengan
cepat Sita kembali merebut laptop
dari pangkuan adiknya.
“Mau
dibuat ngerjain tugas, nonton TV aja sana !”
Tanpa
kalimat protes, Al bangkit dan meninggalkan Sita. Tentu saja dengan muka
ditekuk-tekuk yang sudah Sita sering lihat kalau Al sedang badmood.
Sita
membuka file tugasnya yang seharusnya
sudah dikerjakan Dira, tapi karena kelalaiannya, akhirnya dia sendirilah yang
harus menyelesaikan semuanya. Masih banyak yang belum dia tulis. Sita
menghembuskan napas dengan berat.
Dengan
berat hati dia tutup semua folder
yang menampilkan foto-foto Putra. Dan dengan berat hati pula dia memulai
membereskan deadline dadakan itu.
“Mungkin cuma
tugas-tugas numpuk yang bisa mengalihkan kepalaku dari pikiran tentang kamu!”
keluh Sita dalam hati. “Tapi kalo kebanyakan tugas gini sama aja bikin galau
tiap hari, sial !” gerutunya kemudian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar