Sita
menangis, dia sedang butuh bahu, atau pelukan ? Entahlah, yang jelas dia butuh
seorang pendengar untuk menemaninya menangis hingga usai. Bukan Putra yang
membuatnya menangis, bukan, semua ini tidak ada hubungannya dengan lelaki itu.
Tapi rumahnya. Rumah yang sangat ia rindukan selama tiga bulan terakhir. Rumah
yang dianggapnya tempat paling nyaman sedunia setelah kepalanya dipenuhi
kepenatan di kota manis itu.
Sebenarnya
Sita berharap keadaan rumahnya bisa bersahabat hingga sang waktu memaksanya untuk
pergi lagi. Tapi kali ini, hari ini tepatnya, satu hari sebelum dia harus
kembali ke Jogja, semuanya berjalan tak sesuai harapan.
Entah
ada apa dengan Bapaknya. Akhir-akhir ini Sita merasa kalau Ayahnya itu sedang
dilanda badmood berat. Tiap kali ada
salah satu penghuni rumah ini salah ngomong, pasti orang yang menafkahinya itu
akan marah hebat. Seperti siang ini, Sita tahu Ibunya hanya bemaksud bercanda,
tapi bagi Ayahnya, itu bukan suatu kalimat candaan.
“Ngomong
itu yang bener, berkali-kali dibenerin masih nggak bener juga! Bedakan antara
serius dan guyonan !”
Ibu
yang sedang menyuapi Al makan siang hanya diam mendengarkan amarah suaminya.
Sementara Al, sibuk di depan laptop Sita, menggerak-gerakkan mouse kesana
kemari. Sita mengerti, adik satu-satunya itu juga mengerti kalau sebentar lagi
kedua orang tuanya akan bertengkar.
Hingga
akhirnya, Ibu Sita menangis akibat pertengkaran kecil siang itu. Bapak masih
saja marah-marah. Sita dan Al tidak berkomentar apa-apa. Keduanya memilih diam
dan mendengarkan, karena memang tak ada hal lain yang dapat mereka lakukan.
Ayah mereka tak akan suka anak-anaknya ikut campur urusan orang dewasa.
Hingga
Al selesai makan, Sita mengambil alih laptopnya, mematikannya dan mencabut
semua kabel yang tertancap. Dia meninggalkan kedua orang tuanya, bersama Al.
Dan akhirnya, Ibu menyuruh Al tidur siang, Bapak mengakhiri emosinya.
Ya,
seperti itulah. Pertengkaran kecil yang membuat Sita menangis siang ini.
Seperti sebuah pertengkaran biasa yang akan reda dengan sendirinya. Tapi Sita
tahu, bukan jenis pertengkaran itu yang ada di dalam rumahnya siang ini. Sita
sudah mengenal dengan jelas jenis pertengkaran apa yang sedang terjadi antara
kedua orang tuanya. Dan ini tidak akan berakhir sampai disini.
Sita
kembali dari kamar mandi. Matanya sembab, tapi tak ada suara tangis disana.
Karena memang Sita tak mau kedua orang tuanya tahu kalau dia menangis. Sita
memasuki kamarnya. Ayahnya sedang tertidur pulas di kursi ruang tamu, sedagkan
Ibunya sedang berbaring disamping Al, memaksa tidur mungkin.
Bukan
ini yang diinginkan Sita. Bukan rumah ini yang sangat dirindukan Sita. Bukan
suasana siang ini yang ingin dirasakan Sita sebelum dia pergi. Bukan semua ini.
Sita hanya berharap ini semua mimpi.
Dia
rebahkan tubuhnya di atas kasur kesayangannya. Dia tarik beberapa helai tissue dari tempatnya. Susah payah dia
pejamkan mata yang tidak berhenti mengeluarkan air mata tanpa suara. Dia harus
tidur. Semua yang terjadi siang ini hanya mimpi, sugestinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar