Melihatmu sedekat ini,
memandangmu tanpa kau memandangku, dan merasakan kekecewaan tanpa mungkin kau
rasakan. Kamu nyata, terlampau nyata, hingga aku tak mungkin bisa menggapaimu.
Kamu ada, sangat jelas, hingga aku tak kuasa memalingkan muka.
Sita menutup buku catatan yang selalu dibawanya akhir-akhir
ini. Ah, mungkin baru beberapa hari ini. Biasanya setiap kali dia merasakan
sesuatu, dia akan langsung “nyampah” di Twitter, tapi kali ini entah malaikat
dari mana yang melarangnya untuk tidak mengganggu kenyamanan followernya di
akun jejaring sosial tesebut. Lagi pula Sita sudah sangat lama tidak menulis di
buku catatan sekaligus buku diary dadakannya itu.
Wajah leceknya karena kekuarangan tidur membuatnya semakin
terlihat “tak berbentuk”. Bahkan sebutir
obat maag yang baru saja dia kunyah belum juga meredakan perutnya yang
bermasalah. Sita benar-benar kacau sore itu. Hingga panggung yang begitu ramai
pun tak ia hiarukan.
Sita memasukkan buku catatannya ke dalam tas selempangnya,
tanpa ia baca sekali lagi apa yang baru saja dia tulis. Kemudian tangannya
berkelana kesana kemari mencari ponsel. Setelah berusaha keras mengeluarkan
segala sesuatu di dalam tasnya, ponsel ungu itupun dia dapatkan. Sita memandang
sisa baterai di layarnya, sekitar 15%. Apa boleh buat, dia benar-benar harus
bicara pada orang lain kalau tidak ingin menambah “berat” kepalanya itu.
Panggilannya tersambung. Dua detik berikutnya suara
telinganya sudah disambut dengan suara Ben yang begitu tenang.
“Halo ...”
“Ben...” Sita merajuk, Ben sudah tahu apa yang akan Sita
laporkan padanya. “Gue nggak kuat seharian ngeliat dia seliweran di depan gue !”
Iya, dugaan Ben benar, memang ‘dia’ yang selalu disebut-sebut
Sita di depan Ben. “Ya bagus lah, katanya kemaren kangen ?” Ben membiaarkan
Sita ‘berkicau’ seperti biasa. Temannya itu akan merasa lebih baikan bila sudah
‘berkicau’, dan Ben sudah paham dan harus ekstra sabar menghadapinya.
“Iya gue kangen, kangen banget, tapi gue maunya cuma kangen
aja Ben, gak pake stress kayak gini !”
“Trus ?”
“Loe tahu apa yang gue lakukan seharian ini ? Sok cool, sok
tegar, sok nggak terjadi apa-apa, sok mengabaikan, dan sok-sok yang pasti elo
sendiri ngerti !”
“Tapi kenyataannya loe pengen ngajak ngobrol dia, pengen
senyumin dia, dan pengen biasa aja di depan dia.”
“Nah !” Satu kalimat yang diucapkan Ben benar-benar sangat
benar.
“Dan sekarang loe galau ?”
“Banget nyet ! Gue harus gimana ? Masa’ misi move on gue
harus gagal cuma dalam sehari ? Nggak keren banget coba !”
“Hahahaaa..”
Nah kan nah kan, Sita sudah tahu reaksi sahabatnya itu kalau
dia mengeluh tentang “move on”.
“Lagian siapa suruh sih terlibat dalam satu ‘pertemuan’ kayak
gitu ?”
“Masalahnya bukan terlibat enggaknya gue sama dia, masalahnya
itu gue harus ngapain biar bisa kuat ngeliatin wajahnya yang aduhai itu nyet !”
Sita menarik napas dalam-dalam. Dia benar-benar lelah, dan Ben tahu itu.
Ben diam sejenak, “Loe udah tahu apa yang harus loe lakuin
Ta, gue udah bilang berkali-kali kan, mau nungguin yang nggak pernah datang apa
mau ngebuka mata loe yang udah ada lemnya itu !”
“Gue udah kenyang dibilang goblok sama kalian kalau harus
milih pernyataan pertama, gue pengen move on ... “ ujar Sita dengan nada lelah.
“Move on sedikit demi sedikit kalau nggak bisa langsung full,
tapi gue nggak pernah ngajarin loe buat menghindar, anak kecil kalau kayak gitu
!”
Seketika Sita menundukkan wajahnya, “Iya, ini juga dalam
proses. Sumpah, hari ini gue capek banget, capek hati capek fisik !” keluhnya.
“Hahahahaaa, gue bisa bayangin gimana jeleknya wajah elo yang
lecek di depan dia,”
“Sialan ! Biarin deh, biarin aja gue jelek di depan dia, biar
dia ngejauhin gue !”
“Yakin ? Entar kalau kangen gue lagi yang jadi tempat
sampah,”
“Aaaahh rese’ loe ! Udah ah, gak fungsi juga gue curhat sama
elo, sekian, baterai gue sekarat.”
Seketika Sita mematikan panggilannnya tanpa ijin dari Ben.
Sita tahu, Ben tidak akan sakit hati dengan kelakuan
kekanak-kanakannya itu. Ben juga sudah terbiasa dengan omongan Sita yang
baru-baru ini berubah kasar. Efek galau kalau Ben bilang.
Sita mematikan ponselnya, baterainya sudah benar-benar habis.
Dia menghembuskan napas asal-asalan. Dia sudah janji untuk merubah dirinya
sendiri agar tidak lagi sama dengan Sita yang dulu. Sita tahu dia harus
mati-matian melakukan semua itu. Jadi dewasa itu nggak bisa instan, kalimat itu
yang selalu dia ingat. Kalimat terkeren kesekian dari ayahnya.
Sekali lagi, Sita menarik napas dalam-dalam, kemudian
mengeluarkannya dengan perlahan.
“Lhoh Mbak, nggak turun ? Guess Starnya keren lho,” suara
Pika.
“Eh, ngapain kamu Pik ?”
“Ngambil HP, Mbak Sita ngapain ? Turun yok !”
Sita tersenyum, dia harus keluar dari ruangan ber-AC ini, dia
harus menghirup udara segar walaupun lelaki itu berkeliaran di depannya. Anggap
saja teraphy, batin Sita.
“Ayokk !” Sita menyetujui ajakan Pika.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus