About Senja Dewanti

Foto saya
Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia
I'm just Senja Permata Dewanti .

Kamis, 06 September 2012

Sita Part #3 - Menjadi Dewasa itu Nggak Instan

Melihatmu sedekat ini, memandangmu tanpa kau memandangku, dan merasakan kekecewaan tanpa mungkin kau rasakan. Kamu nyata, terlampau nyata, hingga aku tak mungkin bisa menggapaimu. Kamu ada, sangat jelas, hingga aku tak kuasa memalingkan muka.

Sita menutup buku catatan yang selalu dibawanya akhir-akhir ini. Ah, mungkin baru beberapa hari ini. Biasanya setiap kali dia merasakan sesuatu, dia akan langsung “nyampah” di Twitter, tapi kali ini entah malaikat dari mana yang melarangnya untuk tidak mengganggu kenyamanan followernya di akun jejaring sosial tesebut. Lagi pula Sita sudah sangat lama tidak menulis di buku catatan sekaligus buku diary dadakannya itu.


Wajah leceknya karena kekuarangan tidur membuatnya semakin terlihat “tak berbentuk”.  Bahkan sebutir obat maag yang baru saja dia kunyah belum juga meredakan perutnya yang bermasalah. Sita benar-benar kacau sore itu. Hingga panggung yang begitu ramai pun tak ia hiarukan.

Sita memasukkan buku catatannya ke dalam tas selempangnya, tanpa ia baca sekali lagi apa yang baru saja dia tulis. Kemudian tangannya berkelana kesana kemari mencari ponsel. Setelah berusaha keras mengeluarkan segala sesuatu di dalam tasnya, ponsel ungu itupun dia dapatkan. Sita memandang sisa baterai di layarnya, sekitar 15%. Apa boleh buat, dia benar-benar harus bicara pada orang lain kalau tidak ingin menambah “berat” kepalanya itu.

Panggilannya tersambung. Dua detik berikutnya suara telinganya sudah disambut dengan suara Ben yang begitu tenang.

“Halo ...”

“Ben...” Sita merajuk, Ben sudah tahu apa yang akan Sita laporkan padanya. “Gue nggak kuat seharian ngeliat dia seliweran di depan gue !”

Iya, dugaan Ben benar, memang ‘dia’ yang selalu disebut-sebut Sita di depan Ben. “Ya bagus lah, katanya kemaren kangen ?” Ben membiaarkan Sita ‘berkicau’ seperti biasa. Temannya itu akan merasa lebih baikan bila sudah ‘berkicau’, dan Ben sudah paham dan harus ekstra sabar menghadapinya.

“Iya gue kangen, kangen banget, tapi gue maunya cuma kangen aja Ben, gak pake stress kayak gini !”

“Trus ?”

“Loe tahu apa yang gue lakukan seharian ini ? Sok cool, sok tegar, sok nggak terjadi apa-apa, sok mengabaikan, dan sok-sok yang pasti elo sendiri ngerti !”

“Tapi kenyataannya loe pengen ngajak ngobrol dia, pengen senyumin dia, dan pengen biasa aja di depan dia.”

“Nah !” Satu kalimat yang diucapkan Ben benar-benar sangat benar.

“Dan sekarang loe galau ?”

“Banget nyet ! Gue harus gimana ? Masa’ misi move on gue harus gagal cuma dalam sehari ? Nggak keren banget coba !”

“Hahahaaa..”

Nah kan nah kan, Sita sudah tahu reaksi sahabatnya itu kalau dia mengeluh tentang “move on”.

“Lagian siapa suruh sih terlibat dalam satu ‘pertemuan’ kayak gitu ?”

“Masalahnya bukan terlibat enggaknya gue sama dia, masalahnya itu gue harus ngapain biar bisa kuat ngeliatin wajahnya yang aduhai itu nyet !” Sita menarik napas dalam-dalam. Dia benar-benar lelah, dan Ben tahu itu.

Ben diam sejenak, “Loe udah tahu apa yang harus loe lakuin Ta, gue udah bilang berkali-kali kan, mau nungguin yang nggak pernah datang apa mau ngebuka mata loe yang udah ada lemnya itu !”

“Gue udah kenyang dibilang goblok sama kalian kalau harus milih pernyataan pertama, gue pengen move on ... “ ujar Sita dengan nada lelah.

“Move on sedikit demi sedikit kalau nggak bisa langsung full, tapi gue nggak pernah ngajarin loe buat menghindar, anak kecil kalau kayak gitu !”

Seketika Sita menundukkan wajahnya, “Iya, ini juga dalam proses. Sumpah, hari ini gue capek banget, capek hati capek fisik !” keluhnya.

“Hahahahaaa, gue bisa bayangin gimana jeleknya wajah elo yang lecek di depan dia,”

“Sialan ! Biarin deh, biarin aja gue jelek di depan dia, biar dia ngejauhin gue !”

“Yakin ? Entar kalau kangen gue lagi yang jadi tempat sampah,”

“Aaaahh rese’ loe ! Udah ah, gak fungsi juga gue curhat sama elo, sekian, baterai gue sekarat.”  Seketika Sita mematikan panggilannnya tanpa ijin dari Ben.

Sita tahu, Ben tidak akan sakit hati dengan kelakuan kekanak-kanakannya itu. Ben juga sudah terbiasa dengan omongan Sita yang baru-baru ini berubah kasar. Efek galau kalau Ben bilang.

Sita mematikan ponselnya, baterainya sudah benar-benar habis. Dia menghembuskan napas asal-asalan. Dia sudah janji untuk merubah dirinya sendiri agar tidak lagi sama dengan Sita yang dulu. Sita tahu dia harus mati-matian melakukan semua itu. Jadi dewasa itu nggak bisa instan, kalimat itu yang selalu dia ingat. Kalimat terkeren kesekian dari ayahnya.

Sekali lagi, Sita menarik napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya dengan perlahan.

“Lhoh Mbak, nggak turun ? Guess Starnya keren lho,” suara Pika.

“Eh, ngapain kamu Pik ?”

“Ngambil HP, Mbak Sita ngapain ? Turun yok !”

Sita tersenyum, dia harus keluar dari ruangan ber-AC ini, dia harus menghirup udara segar walaupun lelaki itu berkeliaran di depannya. Anggap saja teraphy, batin Sita.

“Ayokk !” Sita menyetujui ajakan Pika.


1 komentar: